Magic
"Weeeh. Ada makanan enak nih? Bagi yak." Aku menolak. Sudah sekian kalinya Yogi menghabiskan makananku. Padahal, aku belum menyentuh makanan ini sama sekali.
"Pelit banget sih, Tan. Siomay begini doang gak mau lo bagi."
"Yaa abis kebiasaan lo yang gak mau ngalah dan seenaknya yang bikin gue mikir dua kali buat bagi makanan gue ke lo." Aku pun tidak mau kalah. Padahal ini sudah sekian kalinya juga aku memperingatkannya, tapi tetap saja Yogi tidak mau dengar. Menyebalkan sekali. Memangnya uang jajannya dipakai untuk apa saja, sih?
Heran saja, Yogi yang termasuk anak orang kaya di sekolah tidak bisa merubah kebiasaannya yang meminta makanan orang lalu dihabiskannya. Ini berlangsung semenjak aku pertama kali mengenal dekat dengan Yogi. Tapi, tidak hanya dengan aku saja, sampai adik kelas pun diperlakukan sama olehnya.
"Yaa anggep aja kalau Yogi mau kenal lebih dekat lagi sama lo, Tania. Mungkin sebenarnya dia anak yang baik." Sisil mencoba membela teman SMP nya itu. Anak yang baik? Anak kelaparan sih, IYA.
Setelah siomay yang aku beli telah habis dimakan, aku segera kembali ke kelas. Kelasku melewati depan musholla sekolah, dan aneh. Aku melihat Yogi mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat Dhuha. Aku terdiam di depan musholla. "Kok bengong, Tan?" Tiba-tiba Adit menghampiriku. "Kenapa? Heran lihat Yogi sholat Dhuha, ya?" Sepertinya Adit mengerti dengan kebingunganku.
"Sebenarnya, dia sudah lama ngejalanin sholat Dhuha dan mulai aktif juga di acara kegiatan Rohis sekolah." Jadi, selama ini Yogi anak Rohis?
"Tapi kenapa kebiasaan dia yang suka menghabiskan makanan orang gak bisa hilang?"
"Itu cara dia supaya lebih dekat dengan teman-temannya. Banyak yang keberatan, tapi yaa mau gimana lagi. Mudah-mudahan kebiasaannya juga hilang. Mau ikut sholat, Tan?"
Aku hanya bisa terdiam karena penjelasan dari Adit tentang Yogi. Benar yang dikatakan Sisil. Seketika, pandangan jelekku tentang Yogi hilang. Sepertinya, aku telah tertipu oleh magic yang dibuat Yogi.
"Pelit banget sih, Tan. Siomay begini doang gak mau lo bagi."
"Yaa abis kebiasaan lo yang gak mau ngalah dan seenaknya yang bikin gue mikir dua kali buat bagi makanan gue ke lo." Aku pun tidak mau kalah. Padahal ini sudah sekian kalinya juga aku memperingatkannya, tapi tetap saja Yogi tidak mau dengar. Menyebalkan sekali. Memangnya uang jajannya dipakai untuk apa saja, sih?
Heran saja, Yogi yang termasuk anak orang kaya di sekolah tidak bisa merubah kebiasaannya yang meminta makanan orang lalu dihabiskannya. Ini berlangsung semenjak aku pertama kali mengenal dekat dengan Yogi. Tapi, tidak hanya dengan aku saja, sampai adik kelas pun diperlakukan sama olehnya.
"Yaa anggep aja kalau Yogi mau kenal lebih dekat lagi sama lo, Tania. Mungkin sebenarnya dia anak yang baik." Sisil mencoba membela teman SMP nya itu. Anak yang baik? Anak kelaparan sih, IYA.
Setelah siomay yang aku beli telah habis dimakan, aku segera kembali ke kelas. Kelasku melewati depan musholla sekolah, dan aneh. Aku melihat Yogi mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat Dhuha. Aku terdiam di depan musholla. "Kok bengong, Tan?" Tiba-tiba Adit menghampiriku. "Kenapa? Heran lihat Yogi sholat Dhuha, ya?" Sepertinya Adit mengerti dengan kebingunganku.
"Sebenarnya, dia sudah lama ngejalanin sholat Dhuha dan mulai aktif juga di acara kegiatan Rohis sekolah." Jadi, selama ini Yogi anak Rohis?
"Tapi kenapa kebiasaan dia yang suka menghabiskan makanan orang gak bisa hilang?"
"Itu cara dia supaya lebih dekat dengan teman-temannya. Banyak yang keberatan, tapi yaa mau gimana lagi. Mudah-mudahan kebiasaannya juga hilang. Mau ikut sholat, Tan?"
Aku hanya bisa terdiam karena penjelasan dari Adit tentang Yogi. Benar yang dikatakan Sisil. Seketika, pandangan jelekku tentang Yogi hilang. Sepertinya, aku telah tertipu oleh magic yang dibuat Yogi.
Halo mbak, ternyata mbak suka menulis Flash Fiction ya? Jangan ketinggalan ikutan Giveaway Flash Fiction BeraniCerita.com ya deadline 21 Feb loh!
ReplyDelete