[Random 2] Buku Harian Anak Rantau
Pagi ini ditemani dengan deruman ombak yang teduh,
pemandangan pinggir pantai Anyer yang menyejukkan batin. Seperti yang
sebelumnya, setiap akhir pekan selepas sholat subuh aku sempatkan diri untuk
datang ke sini untuk sekedar jalan – jalan di sepanjang pantai. Yaa hanya untuk
melepas penat dari rutinitas yang hampir membuatku gila. Setiap aku ke sini,
aku selalu sadar bahwa kebahagiaan bisa didapat dari hal yang sederhana,
seperti sekarang ini.
Bekerja sebagai pemilik losmen kecil yang sudah berdiri
selama tiga tahun di salah satu lokasi sekitar pantai anyer dan menjadi seorang
guru honorer di sebuah SDN desa Cikoneng cukup menyita waktu. Meski begitu, aku
menjalani semua dengan sejuntai senyuman di kala aku mulai mengeluh. Inilah
yang aku impikan selama ini. Jauh dari hiruk pikuk kota yang penuh kepalsuan,
tinggal di sebuah desa yang masih menjunjung tinggi arti kejujuran. Sudah lima
tahun aku tinggal disini.
Sembari menghirup dalam – dalam udara pantai yang bersih,
terlintas di benak bahwa tiga hari lagi menuju bulan Ramadhan. Bulan yang penuh
keberkahan (katanya) bagi orang yang menjalankan ibadah dengan sungguh –
sungguh. Bulan yang menjalani ibadah puasa wajib selama satu bulan lamanya bagi
orang – orang yang beriman. Itu salah satu pelajaran yang selalu teringat saat
masa kanak – kanak dulu. Setiap sore menjelang buka puasa, diadakan pengajian
anak – anak oleh ustadz Khanif. Mulai dari membaca Iqra’ secara bergantian,
menghafal surat – surat pendek dan ditutup dengan kultum. Suasana seperti itu
aku dapatkan kembali di desa ini.
Sudah pukul 6.30, aku sempatkan datang ke losmen untuk
mengetahui keadaannya.
“Teh Aas, hari ini udah ada yang booking untuk tanggal 11 dua kamar. Terus tanggal 10 nanti, Bono
minta cuti lima hari untuk pulang kampung, Teh.” Itu laporan dari Lilis yang
bekerja di bagian front office.
Keadaan masih aman terkendali, sambil berkeliling aku menyapa beberapa karyawan
yang bekerja. Mulai dari Neneng dan Mona sedang membersihkan salah satu kamar,
datang ke dapur melihat beberapa ‘chef
dadakan’ sedang mempersiapkan sarapan untuk tamu yang menginap. Semua karyawan
yang bekerja disini berada di bawah pengawasan mang Wawan. Aku hanya datang ke
losmen setiap akhir pekan juga selepas dari pantai.
“Mang Wawan, saya tinggal ya. Nanti kalau ada apa – apa,
tinggal hubungi saya saja.” Mang Wawan meng – iya – kan, dan aku pamit pulang.
Sampainya di rumah, aku langsung dihadapkan oleh pekerjaanku
sebagai guru bahasa Inggris. Menilai hasil ulangan murid – murid kelas 5.
Inilah bagian pekerjaan sebagai guru yang aku – cukup – tidak – suka. Melihat
secara teliti satu per satu kertas dengan tulisan tangan mereka dengan berbagai
gaya, ada yang terbaca dan ada juga yang tidak. Ada yang besar, ada juga yang
kecil. Begitulah anak – anak.
Handphone
berdering tanda sms masuk.
“Kak, hari ini aku mau
nginep di rumah. Aku masih di jalan.”
Sms dari Alila, adikku. Dia memang paling sering ke sini.
Mungkin sekitar tiga bulan yang lalu, dia baru saja menginap di sini.
“Iya. Hati – hati yaa.”
Tepat pukul 17.00 waktu setempat. Terdengar suara pintu
terbuka dan aku masih berada di dapur untuk menyiapkan kedatangan Alila.
“Assalamu’alaikuuuuummm. Kak Aas, Lila dateeng.”
Aku segera keluar dari dapur dan melepas kangen sejenak
dengan adik kecil ini. Umur Alila empat tahun dibawahku dan sekarang dia sedang
merampungkan skripsinya dalam waktu dekat.
“Nih kak, masakan dari Ibu. Ibu nanyain tuh kapan kak Aas
pulang. Bentar lagi kan puasa dan
habis lebaran rencananya Bang Azka mau lamaran.”
Aku hanya tersenyum kecil sambil menempatkan masakan Ibu ke
piring. Sambal goreng kentang dengan ati dan tempe mendoan. Masakan Ibu yang
paling juara menurutku.
“Ya sudah. Mandi dulu sana, abis ini kita solat maghrib
berjama’ah di surau yaa.” Alila meng – iya – kan. Masih mengganjal di pikiran, Ibu nanyain tuh kapan kak Aas pulang.
Aku berusaha untuk tidak memikirkannya saat ini.
Selepas solat maghrib di surau, waktunya untuk kami makan
malam. Biasanya kalau tidak dengan Alila, aku mengajak beberapa anak untuk
makan bersamaku, terkadang dengan ibunya juga. Aku tidak suka makan sendirian.
Nasi hangat dengan masakan Ibu yang dibawa Alila menjadi
hidangan malam ini. Seperti yang diajarkan oleh orang tua dan guru mengaji
kami, sebelum makan kami berdoa terlebih dahulu.
“Kamu dari rumah jam berapa?” sambil menuang nasi aku
membuka pembicaraan.
“Dari rumah berangkat jam 10 tapi sebelum berangkat Lila ke
rumah temen dulu, ada urusan. Mungkin dari terminal sekitar jam 12an kali ya.
Eh kak, mas Isa nanyain tuh.”
“Nanyain apa?”
“Nanyain, kak Aas sekarang kabarnya gimana? Terus lain waktu
boleh gak datang ke sini? Begitu
katanya.” Kata Alila sambil senyum menggoda. Aku langsung tertawa atas ulah
Alila. Antara aku, Alila dan Tuhan hampir tidak ada rahasia. Begitu juga dengan
kisah antara aku dan Isa.
Selesai makan, kami memutuskan untuk solat Isya’ berjama’ah
di rumah saja. Untuk menambah quality
time antara dua kakak – adik.
“Kak Aas gak
kangen sama rumah apa? Sudah tiga tahun lebih kak Aas gak pulang ke rumah.” Alila menyampaikan dengan suara pelan namun
terdengar serius.
“Gak tau. Kak Aas bingung kalau kamu bertanya seperti tadi.”
Aku menundukkan kepala. Berusaha suaraku untuk tidak terdengar parau. Kami
berdua terdiam.
“Kak, bentar lagi Bang Azka lamaran. Masa gak datang sih? Waktu bang Azka di wisuda kak Aas gak datang juga.” Aku terdiam sambil membayangkan kejadian itu.
“Kak Aas kangen sama Ibu, gak?” aku mengangguk pelan. Aku masih tertunduk lemas.
“Kak, Bapak sudah makin sepuh. Alhamdulilah sekarang Bapak
masih sehat wal afiat, kak. Kak Aas gak
kangen sama Bapak?” kali ini Alila sukses membuat tangisku pecah. Pernyataan
itu yang selalu sukses menusuk batinku.
Alila segera memelukku dan berusaha membuatku tenang. Tangis
Alila pun juga pecah. Inilah bagian yang paling aku benci.
“Jadi kamu seneng kalau kak Aas dipermalukan lagi sama
Bapak? Kamu seneng kalau kak Aas di usir LAGI dari rumah? Kamu seneng, hah?
Kamu seneng.” Aku berteriak penuh emosi ke arah Alila.
“Bapak tuh benci sama kak Aas. BENCI. Benci karena kak Aas gak mau nurut sama Bapak.”
“Tapi kak saat itu Bapak lagi khilaf, kak. Bapak gak pernah
benci sama kak Aas.”
“Oh iya? Gak benci? Saat tiga tahun lalu kak Aas pulang,
terus disambut dengan omelan Bapak sambil teriak – teriak terdengar tetangga,
apa itu yang dibilang GAK BENCI? HAH?! Kak Aas tuh anak yang paling dibenci sama Bapak, gak seperi kamu dan bang Azka !!!”
“Kak, istighfar kak.
Istighfar !! tiap malam aku sering
mendengar Bapak menangis sambil menyebut nama kak Aas. Bapak masih sayang sama
kak Aas. Bapak tuh gak pernah benci
sama kak Aas.”
“Halah kamu bohong ! kamu bilang seperti itu supaya kak Aas
pulang, iya kan?! Pokoknya kak Aas gak mau pulang sebelum Bapak sendiri
yang menjemput kak Aas. Titik !”
Aku segera berlari ke kamar dan meninggalkan Alila yang
masih mengenakan mukena di ruang tamu. Tangisku makin pecah di kamar.
Membayangkan betapa memalukannya saat kejadian dua tahun yang lalu, yang sampai
sekarang masih meninggalkan luka yang tidak tahu kapan akan sembuhnya. Times can’t heal the deep wound.
Minggu, 7 Juli 2013
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Hari ini Alila datang menginap. Awalnya biasa saja seperti yang
sebelumnya, solat berjama’ah di surau sampai makan malam bersama. Namun,
‘bencana’ itu datang lagi. Alila menanyakan kapan aku pulang (lagi). Dua
tahun lalu, aku luluh untuk memenuhi permintaan Alila karena saat itu Ibu
pun ikut. Tapi, apa yang dapat? Sumpah serapah yang aku dapat ketika Bapak
tahu bahwa aku pulang. Itu yang menjadi luka yang begitu dalam sampai
sekarang.
Apakah sebuah kesalahan jika aku menolak sebuah perjodohan karena
aku sama sekali tidak cinta dengan orang yang akan dijodohkan denganku?
Padahal sebelumnya, aku selalu menurut apa kata Bapak. Saat aku memutuskan
untuk kuliah dengan jurusan manajemen perhotelan, bapak tidak setuju. Kata
Bapak, lebih baik aku mengambil jurusan sastra Inggris dan menjadi guru,
seperti profesi Bapak yang sekarang menjadi pensiunan kepala sekolah. Saat
aku berencana untuk mengajar di sekolah di desa terpencil, bapak juga
menolak. Lebih baik, aku mengajar di sekolah swasta terbaik di kota dengan
bayaran yang tinggi, katanya. Aku menurut. Tapi, kalau untuk sebuah
perjodohan dengan anak H. Bustami yang terkenal sok dan sombong,
ini urusan hati. Aku menolak keras. Sampai suatu hari rombongan keluarga
H. Bustami, aku sengaja pulang ke rumah dengan seorang teman lelaki sesama
guru dan aku mengatakan bahwa dia pacarku. Bapak marah besar dan aku
diusirnya dari rumah.
Ini tahun kelima, aku menghabiskan waktu puasa Ramadhan dan lebaran
di sini. Adalah sebuah keajaiban jika di tahun berikutnya Bapak datang
menjemput dan menghabiskan waktu puasa dan Ramadhan bersama keluarga
(lagi).
Asiah Cendekia
|
Aku menutup buku harianku sambil menangis. Jam menunjukkan
pukul 10.42 dan Alila sudah terlelap dari satu jam yang lalu. Yaa Allah jangan jadikan hamba – Mu ini anak
yang durhaka. Amin yaa Rabb.
“Asiah, Bapak kangen
sama kamu, Nak? Maafin Bapak yang sudah egois selama ini.” Bapak memelukku erat
seolah tidak mau kehilangan anaknya lagi. Aku juga menangis dan memeluk Bapak.
“Maafin Aas juga, Pak.
Aas yang salah selama ini. Maafin Aas, Pak.” Aku memeluk kaki Bapak sambil
mencium kakinya. Ini adalah bentuk penebusan dosaku selama ini.
“Aas janji akan terus
patuh sama Bapak. Aas gak mau jadi anak durhaka, Pak.” Aku menangis sembari
Bapak mengusap – usap kepalaku.
Aku terjatuh dari tempat tidur.
Ternyata itu mimpi dan Bapak.. itu mimpi. Waktu menunjukkan pukul 4.30.
Waktunya solat subuh dan aku segera membangunkan Alila.
MARHABAN YAA RAMADHAN !!
Semua umat muslim di dunia berbahagia menyambutnya. Alila
sudah pulang dua hari yang lalu karena tidak mau tertinggal solat tarawih
pertama di masjid dekat rumah. Kalau disini, selepas solat tarawih pertama
biasanya seluruh warga yang tinggal di sekitar sini saling bersalaman meminta
maaf.
Rabu, 10 Juli 2013
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Marhabban Yaa Ramadhan. Seperti tahun – tahun sebelumnya, aku
selalu antusias menyambutnya. Semoga ini adalah bulan selalu dipenuhi
keberkahan seperti sebelumnya.
Alila sudah pulang dan aku sendiri (lagi). Menjalani rutinitas
seperti biasanya. Ini terdengar aneh, tapi selama beberapa aku mengalami mimpi
yang sama. Tiga hari yang lalu, aku bermimpi tentang Bapak, begitu juga
malam – malam selanjutnya. Aku tidak tahu, apakah ini hanya mimpi atau
memang ‘mimpi’? Aku memang berharap Bapak segera memaafkanku dan
menjemputku untuk pulang. Tapi, apakah ini egois?
Yaa Allah jangan jadikan hamba – Mu ini adalah pribadi yang egois
dan durhaka terhadap orang tuanya. Amin yaa Rabb
Asiah Cendekia
|
Hari pertama sampai ketiga bulan puasa biasa sekolah diliburkan dan itu aku gunakan untuk lebih menghabiskan waktu di losmen. Di losmen pun juga diadakan ‘ritual’ saling meminta maaf dan hari pertama puasa biasanya diadakan buka puasa dan solat tarawih bersama.
“Mang Wawan, tolong titip losmen ya. Untuk beberapa hari
ini, saya mau keluar kota. Saya mau pulang.” Alhamdulilah, mang Wawan bersedia.
Aku tidak tahu akan berapa hari aku akan pergi, tapi yang jelas jika lebih dari
lima hari aku tidak kembali, akan aku kabari mang Wawan lagi.
Allah selalu bersama orang –
orang yang mau menyambungkan tali silaturrahim yang sudah terputus.
Bismillahirrahmaanirrahim.
Ini dia. Aku terpaku di gang menuju rumah yang aku
tinggalkan hampir lima tahun. Jantung ini berdetak tak menentu, namun aku
berusaha untuk memantapkan langkah untuk sampai ke rumah.
“Assalamu’alaikuum.” Aku mengetuk pintu dan berteriak tiga
kali. Terdengar suara menjawab salam dari dalam.
“Ibu.”
Aku terpaku melihat Ibu yang terlihat sama saat lima tahun
yang lalu. Ibu sempat terdiam dan memelukku erat. Kami berdua menangis. Aku
memeluk Ibu erat sekali, begitu juga Ibu.
“Ibu. Aas pulang. Maafin Aas ya, Bu.” Aku langsung memeluk
kaki Ibu dan mencium kakinya. Ibu mengusap kepalaku dengan lembut dan
menciumnya. Hangat sekali.
“Ibu. Bapak mana?” langsung terlintas di benakku kemana
Bapak. Ibu bilang, Bapak masih di masjid dari solat Zhuhur tadi, ada rapat
katanya. Aku memutuskan untuk ke kamarku.
Maghrib hampir tiba satu jam lagi. Semua anggota keluarga
menyambut haru kedatanganku, namun Bapak belum juga datang. Awalnya bang Azka
ingin memberi tahu Bapak tapi aku melarangnya. Biarlah ini menjadi kejutan. Aku
sudah siap mental apa yang akan Bapak lakukan nanti. Setengah jam kemudian..
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara Bapak dari depan rumah.
Jantung berdegup tak berirama. Hampir aku keringat dingin dibuatnya.
“Bapak.”
Aku terpaku melihat Bapak dan langsung memeluk kaki Bapak.
Tangisku pecah. Aku berkali – kali berucap meminta maaf kepada Bapak.
“Aas minta maaf Pak. Aas yang selama ini salah. Aas gak mau jadi anak durhaka, Pak.” Bapak
segera memelukku erat dan aku tidak akan rela untuk melepasnya.
“Asiah anakku, selama ini Bapak yang salah. Bapak egois yang
selalu menuntut kamu untuk menuruti apa kata Bapak. Maafkan Bapak ya Nak.
Jangan pergi dari Bapak. Bapak sayang sama kamu, Nak.” Suara Bapak terdengar
lembut namun parau.
Akhirnya buka puasa tiba dan kami memutuskan untuk solat
maghrib berjama’ah di masjid.
“Aas !” terdengar dari belakang namaku dipanggil.
“Isa. Apa kabar?” aku senang bukan main. Aku bertemu dia
selepas solat maghrib di depan masjid.
“Aku baik, As. Kamu?” aku mengangguk mantap sambil
tersenyum. Kami berdua terlihat malu – malu karena sudah lama tidak bertemu.
“Habis tarawih nanti ada acara gak?” Isa bertanya dengan sedikit malu – malu. Aku tahu maksudnya.
“Gak ada.” Dan kami pulang ke rumah masing – masing.
Comments
Post a Comment